
Pembebasan bersyarat mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, menimbulkan perdebatan publik dan kini tengah diperkarakan oleh sejumlah pihak. Mantan terpidana kasus mega korupsi e-KTP itu dinilai belum memenuhi syarat substantif untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.
Setya Novanto sebelumnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 2018. Namun, pada awal Oktober 2025, ia resmi keluar dari lapas dengan status pembebasan bersyarat setelah menjalani sekitar tujuh tahun masa pidana. Keputusan ini segera memicu kontroversi karena dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan publik.
Gugatan dari Masyarakat dan Pegiat Antikorupsi
Sejumlah lembaga antikorupsi dan tokoh masyarakat menggugat keputusan pembebasan tersebut. Mereka menilai bahwa Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) serta Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak transparan dalam memberikan izin pembebasan kepada mantan politisi Partai Golkar itu.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, mengatakan bahwa pemberian pembebasan bersyarat terhadap koruptor kelas kakap seperti Setya Novanto berpotensi mencederai semangat pemberantasan korupsi. “Kita patut mempertanyakan komitmen negara dalam memberikan efek jera kepada pelaku korupsi besar,” ujarnya.
Dasar Hukum dan Syarat Pembebasan Bersyarat
Kemenkumham menyatakan pembebasan bersyarat tersebut telah melalui mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2022, setiap narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa hukuman dan berkelakuan baik berhak mengajukan pembebasan bersyarat.
Namun, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Indriyanto Seno Adji, menjelaskan bahwa pembebasan bersyarat untuk narapidana kasus korupsi harus melalui pertimbangan khusus dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan. “Jika syarat formilnya dipenuhi tapi pertimbangan etik dan keadilan diabaikan, maka keputusan itu layak diuji kembali,” ujarnya.
KPK dan DPR Diminta Turun Tangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pihaknya belum menerima pemberitahuan resmi terkait pembebasan bersyarat tersebut. Juru Bicara KPK, Ali Fikri, menegaskan bahwa pihaknya akan menelaah kembali berkas pembebasan untuk memastikan tidak ada pelanggaran administratif.
Selain itu, sejumlah anggota DPR juga meminta agar pemerintah membuka seluruh dokumen dasar hukum pembebasan tersebut kepada publik. “Transparansi mutlak diperlukan agar masyarakat tidak berprasangka buruk terhadap sistem hukum,” kata anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari.
Respons Kemenkumham
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Reynhard Silitonga, menegaskan bahwa keputusan pembebasan telah sesuai prosedur. “Semua tahapan administratif, asesmen perilaku, dan rekomendasi pembimbingan telah dipenuhi. Tidak ada perlakuan khusus bagi siapa pun,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.
Namun demikian, publik tetap menyoroti inkonsistensi antara aturan dan implementasi. Beberapa analis menilai pemerintah perlu memperketat regulasi agar pembebasan bersyarat tidak menjadi celah hukum bagi pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi.
Kasus Serupa Pernah Terjadi
Kasus pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi bukan kali ini saja menuai kritik. Sebelumnya, mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari dan terpidana kasus suap lainnya juga sempat menuai polemik serupa. Situasi ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan dan pemberian remisi bagi koruptor.
Hingga kini, gugatan terhadap pembebasan Setya Novanto masih diproses di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Jika terbukti ada pelanggaran prosedural, keputusan tersebut bisa dicabut, dan status Novanto dapat kembali dievaluasi.


